Izin Tambang Meledak setelah Otonomi

Kamis, 14 Maret 2013
KALTIM POST. SAMARINDA – Perusahaan tambang batu bara disebut banyak menunggak royalti hingga jaminan reklamasi (jamrek). Sikap yang merugikan negara. Meski begitu, pemilik izin dengan label Perjanjian Karya Pengusaha Batu Bara (PKP2B) menolak jika ikut disebut tak patuh.
“Masalah royalti, ada yang namanya RKAB (Rencana Kerja Anggaran Belanja), yang isinya memuat data royalti, produksi, dan itu melibatkan RT (ketua Rukun Tetangga, Red), gubernur, sampai menteri,” ucap Wakil Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Kaltim, Huseinsyah Akma.
“Kalau royalti enggak dibayar, tidak bisa kerja. Itu sudah jelas. Kalau IUP saya enggak ngerti,” sambungnya.
Ya, APBI mengklaim bersih dari persoalan tunggakan-tunggakan, mengingat kewajiban memenuhi ketentuan tersebut harus terealisasi sebelum beroperasi. Bila tidak, izin operasi bisa terganjal.
Husein menyebut, PKP2B dari generasi pertama hingga ketiga, kehadirannya mendapat restu Presiden RI.
“Ditandatangani oleh Presiden dan DPR RI, sehingga kekuatannya sama dengan Undang-Undang,” kata dia.
Dengan kekuatan itu, PKP2B sulit menerapkan hal-hal di luar RKAB. Husein mencontohkan kebijakan pengurangan produksi.
“Misal dari 200 juta ton dikurangi menjadi 150 juta ton. Itu tidak sederhana (realisasinya). PLN di Jepang itu bisa langsung gelap. (Akibatnya) batu bara kami bisa tak dibeli lagi, sementara Australia, Tiongkok, dan lain-lain sudah mulai produksi. Padahal kontrak 20 tahun harusnya menyuplai 100 juta ton, tapi jadi 75 juta ton saja, Tokyo gelap, pindah mereka (ke penjual lain),” tuturnya.
Di sisi lain, berdasar pandangan APBI, jumlah KP/IUP (mineral dan batu bara) sampai akhir 2012 tercatat lebih 10.000 izin.
Sementara 4.300-an di antaranya merupakan IUP batu bara. Jika diperhatikan, investasi di bidang pertambangan setelah otonomi daerah sampai terbitnya UU Nomor 4 Tahun 2009, berjumlah lebih dari 9.500 perusahaan. Ini jelas pertambahan yang fantastis.
Berkaca pada realitas itu, tercermin betapa mudahnya mendapatkan izin KP/IUP.
APBI menilai, kelemahan pengawasan aparat, serta kurangnya pengetahuan teknik pertambangan yang sesuai prosedur atau good mining practices dan good corporate governances, berikut tingkat kepatuhan pengusaha tambang, membuat investasi pertambangan ini rawan merusak lingkungan hidup.
Dalam forum resmi belum lama ini, APBI menawarkan beberapa solusi yang menurut mereka dapat mengatasi persoalan perizinan tambang.
Beberapa di antaranya, menuntaskan peta tata ruang wilayah peruntukan, secara menyeluruh, berikut penetapan wilayah pertambangannya.
“Suatu wilayah dengan koordinat sama, di atasnya ada kebun, di bawahnya batu bara atau ada energi lain, ini menyimpan potensi konflik,” sebut dia.
Juga yang tak kalah pentingnya, pelayanan one door services baik di pusat maupun daerah, diikuti good mining practices dan good corporate governance bagi pengusaha pertambangan, dengan peningkatan kualitas dan kuantitas inspektur tambang.
Khusus inspektur tambang, saat ini memang sedang dalam perhatian khusus Pemprov Kaltim, lantaran minimnya sumber daya manusia.

“Usulan lainnya, ciptakan transparansi, terutama terkait pengeluaran dan pemasukan keuangan, pajak dan non-pajak, melalui program extractive industries transparency initiative (EITI), baik bagi pemerintah maupun pengusaha,” imbuhnya.

One thought on “Izin Tambang Meledak setelah Otonomi

Leave a comment