Gubernur Dipanggil KPK, Rugi hingga Rp 31,5 T, Tambang Kaltim Pantas Masuk Radar Penyidik

Sabtu, 8 Februari 2014

KALTIM POST. SAMARINDA – Kaltim jadi salah satu dari 12 provinsi yang disorot dan mendapat pengawasan ketat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena persoalan tambang. Hal ini tidak mengejutkan, berdasar data Kementerian Kehutanan RI pada 2011 yang dihimpun ICW, kerugian negara akibat kerusakan hutan yang disebabkan pertambangan dan perkebunan di provinsi ini mencapai Rp 31,5 triliun, terbesar ketiga di Indonesia!
Kemarin (7/2) KPK memanggil 12 gubernur, salah satunya Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Pemanggilan tersebut untuk koordinasi dan supervisi (Korsup) atas pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas membenarkan KPK mengawasi 12 provinsi, termasuk Kaltim. Karena dari kajian KPK, ditemukan banyak persoalan pada pertambangan yang beroperasi di daerah.
Dia mengungkapkan, temuan itu berkaitan dengan tata kelola, arah pengelolaan dan keberpihakan dalam pengelolaan sektor sumber daya alam yang tak sesuai dengan konstitusi. 

“Banyak persoalan-persoalan. Ada ketidakadilan dalam pengelolaan, ada persoalan dalam distribusinya,” kata Busyro  dalam jumpa pers di KPK, tadi malam.

Menurut Busyro, para gubernur yang disupervisi sepakat untuk mendapatkan pengawasan dari KPK.
“Tadi gubernurnya bilang, mereka sendiri tidak menikmatinya,” kata Busyro.
Sedangkan Koordinator Tim Kajian Sumber Daya Alam dari Direktorat Litbang KPK Dian Patria mengungkapkan, pihaknya telah melakukan koordinasi dan supervisi terhadap 12 provinsi. Menurutnya, dari 7.501 izin usaha pertambangan ternyata 45 persen di antaranya bermasalah. “Ada yang karena lahan tumpang tindih, masalah administrasi hingga kurang bayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak, Red),” katanya.
Dari temuan KPK, terdapat 198 perusahaan batu bara yang kurang bayar PNBP hingga USD 1,224 miliar. Sedangkan dari sektor mineral, ada kekurangan dalam pembayaran PNBP hingga USD 25 juta. “Dan ini berulang terus setiap tahun,” beber Patria.
Sementara, menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, selain Kaltim, yang masuk radar KPK dan mendapat supervisi dan pengawasan yakni Riau, Jambi, Bangka Belitung, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Menurut KPK, setidaknya ada 10 persoalan yang melatarbelakangi pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara. Yakni pengembangan sistem data dan informasi minerba masih bersifat parsial, belum diterbitkannya semua aturan pelaksana UU 4/2009 tentang pertambangan minerba, hingga renegosiasi kontrak 34 Kontrak Karya (KK) dan 78 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang belum terlaksana.
Juga peningkatan nilai tambah mineral dan batu bara belum terlaksana dengan baik hingga persoalan kerugian negara karena tidak dibayarkannya kewajiban keuangan, sebab tidak optimalnya sanksi atas pelaku usaha yang tidak membayar kewajiban keuangannya.
Rangkaian kegiatan Korsup tersebut bertujuan mendorong tata kelola pertambangan minerba yang efektif dengan sistem informasi dan data minerba yang memungkinkan pelaporan akurat dan tepat waktu. Selain itu, mereka sepakat perlu adanya aturan memadai sehingga memungkinkan pelaksanaan tata kelola pertambangan minerba yang baik.
Johan menyebut, pelaksanaan kegiatan diawali rapat koordinasi lintas instansi pusat dan 12 pemerintah daerah. Instansi pusat dimaksud meliputi Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Kemen PAN-RB, BPK, BPN, Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Deputi Perekonomian BPKP.
Rapat kerja tersebut menyepakati rencana aksi di 12 provinsi yang terkait lima hal, yakni penataan izin usaha pertambangan, pelaksanaan kewajiban keuangan pelaku usaha pertambangan minerba, pelaksanaan pengawasan produksi pertambangan minerba, pelaksanaan kewajiban pengolahan hasil tambang minerba dan pelaksanaan pengawasan penjualan dan pengangkutan hasil tambang minerba. Ini akan berlangsung dalam kurun Februari-Juni 2014.
Ditemui usai pertemuan di KPK, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak membenarkan supervisi dari KPK itu.
“Kami dari daerah-daerah tentu sangat mendukung. Jadi ada 12 gubernur tadi dari seluruh Indonesia,” sambungnya.
Menurut Faroek, pengelolaan sumber daya alam harus dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. “Pengelolaan SDA memang harus benar-benar ditujukan untuk rakyat. Jadi kami sangat mendukung sekali,” ulangnya.
Dalam rapat koordinasi itu, KPK memberikan sejumlah rekomendasi terkait sektor pertambangan yang menjadi urusan daerah. “Ada lima langkah supaya fokus dilakukan di daerah-daerah,” tambah Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin yang juga hadir dalam rapat koordinasi di KPK.
Kendati demikian, Alex tidak menjelaskan secara detail mengenai rekomendasi tersebut. Namun, salah satunya terkait penertiban izin pertambangan.
“Ya penertiban saja, penertiban izin, penerbitan izin dan pengawasan. Dalam rangka penertiban minerba saja,” tandasnya.
Sementara Peneliti Senior ICW Emerson Yuntho dalam kunjungan ke Kaltim beberapa waktu lalu, menjelaskan meskipun punya multiplier effect sangat besar, pertambangan batu bara hanya bikin segelintir orang kaya raya. Buktinya, aktivitas mengeruk emas hitam ini malah banyak bikin rugi.  
Lihat saja, Benua Etam menduduki urutan ketiga dengan kerugian akibat kerusakan lingkungan karena kebun dan pertambangan. Jika dihitung material, angka dari kerusakan itu fantastis! Mencapai  Rp 31,5 triliun. Realitas ini terungkap dalam rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa waktu lalu.
Berdasarkan laporan dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) 2011 lalu, disebutkan, kerugian negara karena korupsi di sektor kehutanan di Kaltim tergolong tinggi (lihat grafis).
Dari data tersebut, diketahui  pada Agustus 2011 lalu, potensi kerugian negara akibat izin pelepasan kawasan hutan di tujuh provinsi diprediksi menimbulkan kerugian negara Rp 273 triliun.
“Bahwa kekayaan alam saat ini pun menjadi lirikan para koruptor,” kata Emerson. Angka kerugian secara nasional itu dari aktivitas 727 unit perkebunan dan 1.772 tambang.  Sementara di Kaltim ada 86 unit perkebunan dan 223 tambang. Jumlah itulah yang menyebabkan kerugian hingga Rp 31,5 triliun dan menempatkan provinsi ini di urutan ketiga kerugian terbesar.
Terpisah, Koordinator Divisi Hukum, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Merah Johansyah Ismail mengungkap fakta lain dari kerusakan lahan akibat pertambangan batu bara. Dari temuan Jatam, kerusakan lahan dalam 10 tahun terakhir sedikitnya 6,8 juta hektare dari 1.448 izin pertambangan.
“Kerusakan bertambah besar karena masih banyak tambang ilegal yang tidak memiliki izin. Negara  dirugikan dengan modus tersebut,” sebutnya.  

Masih soal kerusakan lingkungan, Merah menambahkan Samarinda dan Kutai Kartanegara (Kukar) adalah dua wilayah dengan kerusakan lingkungan cukup besar akibat tambang. “Di dua wilayah tersebut juga menimbulkan konflik sosial,” ujarnya.

Leave a comment